Meluruskan Stigma Negatif Terhadap UU Ciptaker
Oleh : Muhammad Yusril Bintang Pakuan
Disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), membuat beberapa pihak bereaksi dengan pemahamannya masing-masing. Pro dan kontra terhadap undang-undang ini terjadi, masing-masing pihak memberikan penilaian dan opininya dengan tensinya tersendiri. Sebagian besar mengikuti penilaian dari kelompoknya, bahkan yang paling fatal adalah bereaksi tanpa memahami isi yang sebenarnya dari Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
Banyak beredar di masyarakat kabar negatif tentang Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Lemahnya minat baca membuat masyarakat mudah tergiring sehingga ikut-ikutan menilai buruk undang-undang ini. Selanjutnya para penyebar kabar tersebut dengan mudah mengumpulkan massa untuk melakukan aksi demo besar-besaran di sejumlah daerah. Aksi demo tersebut ditenggarai adanya tuntutan keras untuk mencabut Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
Dalam aksi demo yang dilakukan besar-besaran itu, dimunculkan beberapa tuntutan yang dinilai merugikan buruh. Misalnya pada Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pesangon dihilangkan, tidak ada cuti haid dan cuti hamil, dan mempermudah PHK. Padahal jika dilihat langsung isi draft asli Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), tuntutan-tuntutan tersebut tidak benar adanya. Sebenarnya berkaitan dengan hak buruh masih mengacu pada undang-undang lama yang sama sekali tidak diganti.
Secara umum isi dari Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yaitu mempermudah perizinan usaha baik dalam maupun luar negeri agar lebih birokratis dan tidak tumpang tindih, yang mana dulunya sering ditemukan pengurusan yang bertele-tele, pungli, korupsi, dan sebagainya. Selanjutnya undang-undang ini bertujuan untuk membuka lapangan pekerjaan yang dapat menampung tenaga kerja yang jumlahnya meningkat setiap tahunnya.
Bila dipandang dengan cermat, sebenarnya disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja ini tidak mungkin untuk menyengsarakan rakyat. Namun apabila masih ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan undang-undang ini, maka bisa melakukan tuntutannya dengan bijak tanpa harus demo yang berujung anarkis.
Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Komentar
Posting Komentar